“ Di sekolah ini, siapa yang ingin dibenci saya, silakan aktif Pramuka!”, demikian pernyataan seorang pimpinan yayasan di Cianjur, ketika ditanya oleh seorang wartawan. Laksana petir di siang bolong, sang wartawan yang pernah aktif di kepramukaan itu terhenyak dan dengan penuh telisik, ia melanjutkan bertanya, mengapa demikian bencinya sang pimpinan yayasan terhadap kepramukaan. Jawabnya singkat: “karena di kepramukaan ada camping”. Ujung-ujungnya terkuak, karena dalam camping sering campur baur laki-laki perempuan, dan menurut si Ibu: ...itu yang saya sangat tidak suka!!!
Pernah kita dengar dalam berita, ada oknum pembina pramuka yang alih-alih membina pramuka menjadi manusia bermoral, malah diri si oknum ini melakukan perilaku yang amoral terhadap anak didiknya yang berlainan jenis kelamin. Perilaku oknum itu menjadikan kepramukaan terpojokkan dihadapan masyarakat sekaligus merusak citra Gerakan Pramuka. Padahal sudah demikian panjang organisasi ini berbenah diri menjadi organisasi andalan pembentuk karakter anak bangsa.
Adalah wajar, orang tua ingin anaknya selamat dari perilaku buruk. Karena dalam pandangan masyarakat kita, perempuan ditempatkan secara terhormat dengan keistimewaannya, demikian juga terhadap laki-laki. Ini bukan diskriminasi, tetapi melaksanakan norma dan sebagai upaya pencegahan timbulnya perilaku negatif pada generasi muda yang sudah mewabah dan secara permisif terjadi di masyarakat.
Gerakan Pramuka ditantang untuk peduli dengan kemerosotan moral anak bangsa, salah satunya dari perilaku kebebasan bergaul lawan jenis. Bangsa yang berkarakter Pancasila tentu bukan sebuah bangsa yang membiarkan kebebasan bergaul tumbuh mewabah merusak sendi-sendi dan norma kehidupan sosial kita. Pramuka harus tampil didepan.
Kepramukaan di Indonesia memiliki keistimewaan, yaitu adanya salah satu metode kepramukaan yang tidak dimiliki oleh kepanduan negara lainnya. Metode itu adalah Satuan Terpisah untuk Putera dan Puteri. Satuan terpisah pramuka putra dan pramuka putri diterapkan di gugus depan, satuan karya pramuka, dan kegiatan bersama. Satuan pramuka putri dibina oleh pembina putri, satuan pramuka putra dibina oleh pembina putra, kecuali perindukan siaga putra dapat dibina oleh pembina putri.
Untuk kegiatan yang diselenggarakan dalam bentuk perkemahan, harus dijamin dan dijaga agar tempat perkemahan putri dan tempat perkemahan putra terpisah, perkemahan putri dipimpin oleh pembina putri dan perkemahan putra dipimpin oleh pembina putra. Begitupun dalam kegiatan di alam terbuka lainnya, perlu diperhatikan ketertiban, keamanan, dan kenyamanan seperti yang diharapkan dengan metode yang prinsipil ini.
Faktanya, belum sepenuhnya metode yang cukup prinsipil ini dijalankan. Banyak alasan yang sering disampaikan oleh para pembina. Kurang tersedianya pembina putri, tiada anggaran yang cukup membiayai pembina, banyak kegiatan yang lebih bersifat maskulin sehingga lebih baik ditangani oleh laki-laki, dan alasan-alasan lainnya.
Bagaimana sebaiknya?
Kakak dan Adik pembaca, bagaimana alternatif solusi terhadap persoalan diatas, maka saya sarankan hal-hal berikut ini :
1.
Tumbuhkan terus kesadaran bahwa menerapkan satuan
terpisah untuk putera dan puteri, serta menata hubungan pergaulan laki-laki dan
perempuan adalah sikap yang terpuji yang diajarkan oleh agama, sesuai dengan
nilai-nilai budaya timur yang dianut bangsa ini. Tentunya bagi yang sudah
dilantik ini merupakan wujud pengamalan satya dan darma kita.
2.
Kesadaran bergaul dengan tetap mengindahkan norma yang
baik ini, harus terus diimplementasikan dalam setiap kegiatan sehingga
menumbuhkan kenyamanan pramuka dan orangtua serta masyarakat mempercayakan
generasi mudanya pada Gerakan Pramuka.
3.
Tetap upayakan setiap satuan (gudep dan saka)
menerapkan metode kepramukaan ini. Sediakan pembina putera yang cukup dan cakap
untuk satuan putera. Demikian pula untuk satuan puteri sediakan pembina puteri.
4.
Jika belum memiliki pembina seperti aturan diatas, atur
sedemikian rupa agar tata hubungan dan pergaulan dapat tetap mengindahkan
nilai-nilai dan norma agama, dan norma lainnya yang berlaku di masyarakat.
5.
Hindarkan acara-acara yang menimbulkan tercampurnya
pramuka putera dan puteri dengan tidak beraturan, yang dapat menimbulkan
sangkaan buruk terhadap kegiatan kepramukaan apalagi di lingkungan masyarakat/komunitas
yang religius.
6.
Untuk kegiatan pada jenjang Penegak dan Pandega di tingkat kwartir,
sudah seharusnya tetap mendapat pengawasan
pembina dan Andalan kwartir, sekalipun mereka diberi kesempatan mengelola
kegiatan secara lebih mandiri. Lebih-lebih pada kegiatan yang bermalam dan
berhari-hari, pengawasan harus
betul-betul dilaksanakan.
7.
Adalah baik, jikalau dibiasakan penyelenggaraan
kegiatan/ acara secara terpisah antara gudep putera dan puteri dengan capaian
kompetensi yang mengarah pada keistimewaan jender mereka yang berbeda. Ini akan
menciptakan opini di masyarakat bahwa kepramukaan tidak selalu bercampur baur
antara laki-laki dan perempuan, juga membentuk karakter anak sesuai jender dan tugas
perkembangannya.
Xp2 scout mengakhiri tulisannya dengan: “So…, apakah kita tetap berpikir untuk
mempertahankan sistem satuan terpisah? Jawaban dari pertanyaan itulah yang
harus dipikirkan oleh setiap pembina pramuka. Prinsipnya kalau sistem itu sudah tidak diperlukan mengapa harus
dipertahankan”.
Saya bertanya:“So...Apakah
karena satuan terpisah bagi putera dan puteri belum optimal kita terapkan
dalam kepramukaan, maka kita akan hapuskan dalam Metode Kepramukaan? Karakter
generasi muda seperti apa yang ingin dibentuk oleh Gerakan Pramuka tanpa metode
ini? Apakah kita akan legalkan ada regu-sangga campuran putera puteri? Bahkan perkemahan
campuran?
Yang meyakini
pentingnya metode ini, tentu akan menjawab dengan tegas: TIDAK!
Kepramukaan tidak boleh kehilangan Prinsip Dasar Kepramukaan
dan Metode Kepramukaannya, termasuk Satuan Terpisah untuk Pramuka Putera dan
Puteri didalamnya.
Semoga tulisan ini menginspirasi dan bermanfaat.